Oleh: Dwi Taufan Hidayat
NEGERI tampak begitu gesit memblokir rekening dan menyita tanah yang dianggap “nganggur”. Tapi ketika warganya sendiri bertahun-tahun menganggur, negara seolah buta dan tuli. Ini bukan hanya tentang kebijakan yang pincang, melainkan cara pikir kekuasaan yang memilih mana aset yang harus diselamatkan dan mana rakyat yang boleh dibiarkan tenggelam.
Sebuah ironi muncul di tengah hiruk-pikuk bangsa yang katanya sedang membangun: negara bisa memblokir rekening yang tak aktif tiga bulan, menyita tanah yang terbengkalai dua tahun, tapi ketika seorang warga menganggur bertahun-tahun negara bahkan tak menoleh barang sejenak. Ini bukan sekadar kesenjangan kebijakan, tapi cermin bagaimana negara lebih peduli pada aset ketimbang manusia.
Pemerintah lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 3/PMK.06/2023 menyatakan bahwa rekening yang menganggur lebih dari tiga bulan dapat diblokir. Alasannya? Untuk efisiensi dan tertib administrasi pengelolaan keuangan negara. Di permukaan, ini terdengar masuk akal. Tapi mari kita lihat sisi lainnya: seberapa peduli negara terhadap rakyat yang tak punya penghasilan tetap, tak punya akses, dan justru hidup dalam “pengangguran sistemik”? (Sumber: CNBC Indonesia, 13 Januari 2023)
Kemudian tanah. Pemerintah kembali gencar menyuarakan akan menyita tanah-tanah yang dianggap nganggur atau tidak dimanfaatkan selama dua tahun. Tanah-tanah tersebut dinilai tidak produktif, dan demi “keadilan sosial” akan dialihkan untuk kepentingan strategis. Tapi ironisnya, pengangguran manusia yang dibiarkan menua bersama ketidakpastian tak pernah masuk kategori โnon-produktifโ versi negara. Mungkin karena mereka tak bisa dijual kembali atau tidak bisa dijadikan target pajak. (Sumber: Kompas.com, 4 Mei 2024)
Ini adalah wajah negara yang sibuk menata neraca, tapi melupakan neraca kehidupan warganya. Begitu semangat menertibkan harta benda, tapi gagap memberi arah hidup bagi rakyat kecil. Pemerintah tampaknya punya kalkulasi jelas untuk rekening dan tanah, tapi nihil untuk mereka yang menganggur karena sistem yang gagal menciptakan lapangan kerja layak.
Bayangkan, seorang buruh lepas yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi masih belum dapat pekerjaan setelah dua tahun. Apakah ada tim investigasi yang mengetuk pintunya? Apakah ada algoritma kecerdasan buatan milik kementerian yang mendeteksi bahwa manusia ini โtidak aktifโ dan butuh intervensi? Tidak. Tapi jika ia punya rekening sisa Rp 75 ribu yang tak disentuh 3 bulan, mendadak negara bersikap sigap seperti superhero menyegel tanpa aba-aba.
Lebih menyakitkan lagi, ketika angka pengangguran muda melonjak setiap tahun, jawaban dari pemerintah hanyalah sebaran pelatihan daring yang hasilnya lebih banyak jadi sertifikat hiasan. Bukannya membuka industri padat karya atau mendorong investasi pro-rakyat, negara malah membentuk sistem yang menyalahkan penganggur sebagai beban sosial. (Sumber: BPS, Februari 2025 Tingkat pengangguran usia 20โ29 meningkat 2,1% dari tahun sebelumnya)
Ini adalah negara yang pelit empati tapi royal represif. Ketika manusia tak bisa menghasilkan, mereka dianggap bukan bagian dari pembangunan. Padahal jika logikanya konsisten, seharusnya negara juga memberi ultimatum: โJika kamu nganggur lima tahun, hidupmu kami sita.โ Tapi tentu tidak. Karena manusia tak bisa dilelang.
Pemerintah tampaknya hanya tahu satu jenis aset: yang bisa diukur dengan angka. Akibatnya, manusia jadi barang yang tak dihitung karena tidak bisa ditaksir nilainya. Tanah bisa ditaksir. Rekening bisa diukur. Tapi manusia? Mereka dianggap baik jika menyetor pajak, buruk jika tak produktif, dan tak berguna jika tak bersuara.
Dan jangan berharap keadilan sosial datang dari wacana populis yang berserak di panggung politik. Sebab nyatanya, pemilik tanah puluhan hektare bisa duduk nyaman sebagai elite, sementara petani kecil yang tak punya akta bisa dituduh menelantarkan lahan. Rakyat kecil selalu jadi “yang bersalah” dalam narasi penertiban. Sedangkan para pemilik modal, cukup menanam satu baliho bertuliskan โDalam Proses Pembangunanโ, maka tanah kosong itu tetap aman selama puluhan tahun. (Sumber: Tirto.id, 28 Maret 2024)
Ini bukan tentang kebijakan semata. Ini tentang pola pikir kekuasaan yang menuhankan efisiensi dan melupakan esensi. Bahwa negara seharusnya melindungi manusia sebelum melindungi properti. Bahwa rekening dan tanah bisa kembali dicetak, tapi hidup manusia yang remuk karena pengangguran tak akan bisa dicetak ulang.
Sudah saatnya kita bertanya: negara ini sebenarnya dibangun untuk siapa? Jika tanah nganggur lebih diprioritaskan ketimbang rakyat nganggur, maka apa gunanya slogan โpembangunan manusiaโ yang berkali-kali disampaikan di pidato kenegaraan? Jika hanya karena tidak menyentuh ATM selama 90 hari, seseorang bisa dibekukan hak finansialnya, apakah negara juga akan membekukan hak hidup rakyat yang tak mampu menghasilkan apa-apa?
Sementara program padat karya hanya hadir dalam hitungan minggu dan pencitraan, jutaan anak muda terus menyaksikan masa depannya ditelan waktu tanpa kepastian. Mereka tidak butuh pidato motivasi dari pejabat, mereka butuh sistem yang menganggap mereka aset, bukan beban.
Jangan heran jika kelak rakyat akan berpikir seperti negara: bahwa yang tidak produktif harus disingkirkan. Dan itu bisa berbalik kepada para penguasa yang hanya duduk tanpa ide, bicara tanpa solusi, dan hidup dari pajak rakyat yang mereka tinggalkan sendirian dalam ketidakpastian.
Karena pada akhirnya, bangsa besar bukan hanya dinilai dari pembangunan fisik dan angka investasi, tapi dari bagaimana ia memanusiakan manusia. Jika negara hanya gesit mengurus rekening dan tanah, tapi abai terhadap kehidupan rakyatnya, maka inilah saatnya kita berhenti menyebutnya “ibu pertiwi”, karena ia tak lagi merawat anaknya.