User Icon Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di AMK WebDev.
News, OPINI  

Membela yang Terluka, Mengingatkan yang Terlena

Oleh: Dwi Taufan Hidayat 

DALAM masyarakat kita hari ini, sering kali terjadi ketimpangan dalam cara memperlakukan sesama, khususnya perempuan. Ada yang disanjung meski melakukan dosa, ada pula yang dihina meski tak bersalah. Narasi ini mengajak kita merenung, menata kembali nilai, dan mengingatkan hati agar selaras dengan ajaran Islam.

Betapa sering kita mendengar, seorang perempuan yang hamil di luar pernikahan justru mendapat simpati yang berlebih. Dipuji karena keberaniannya menghadapi stigma, dimotivasi dengan kata-kata manis, bahkan disebut “korban” meski jelas-jelas ia melakukannya secara suka sama suka. Sebaliknya, seorang istri yang telah lama menikah namun belum dikaruniai anak justru menjadi sasaran bisik-bisik jahat, cibiran, dan cap “mandul” yang menyakitkan.

Kita patut bertanya, di mana letak keadilan sosial dan spiritual kita? Mengapa kita begitu cepat melabeli seorang perempuan tanpa tahu kisah hidupnya secara utuh? Mengapa pula kita mudah mengampuni dosa yang nyata, namun begitu kejam kepada takdir yang belum berubah?

Padahal Islam mengajarkan untuk bersikap adil, bukan hanya dalam hukum, tapi juga dalam lisan, sikap, dan rasa. Rasulullah ﷺ bersabda:

“اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”
“Takutlah kalian terhadap kezaliman, karena kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saat seorang perempuan yang terjatuh dalam perzinaan justru ditinggikan, diberi panggung, dibela habis-habisan oleh sebagian masyarakat termasuk oleh sesama perempuan maka kita harus sadar bahwa ini bukan kasih sayang, tapi penyimpangan nilai. Kasih sayang sejati itu mengingatkan, bukan menormalisasi dosa.

“وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا”
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Islam tidak pernah membenarkan zina dalam bentuk apa pun. Bahkan mendekatinya saja sudah dilarang. Maka ketika ada yang hamil di luar pernikahan karena zina, kewajiban kita adalah memberi nasihat, bukan menyanjung. Membantu kembali ke jalan Allah, bukan memberi panggung untuk jadi “korban” yang dilestarikan.

Sementara di sisi lain, wanita yang belum punya anak seharusnya dikuatkan. Tidak semua kehendak manusia sejalan dengan takdir Allah. Bahkan Nabi Ibrahim AS menunggu puluhan tahun sebelum Allah memberinya seorang anak. Itu bukan aib. Itu adalah ujian. Dan ujian itu bagian dari kasih sayang Allah.

“يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ، أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ”
“Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy-Syura: 49–50)

Bersikap adil itu adalah bagian dari keimanan. Jika kita bersikap lunak pada pelaku maksiat dan keras kepada yang sedang diuji, itu pertanda bahwa iman belum mengakar pada akal dan hati. Ketika kita membully wanita mandul, padahal ia tidak punya salah, sesungguhnya kita telah melukai jiwa tanpa sebab.

Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman:

“يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا”
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim)

Fenomena memuji zina dan merendahkan takdir ini bisa lahir dari SDM rendah—seperti yang disebut dalam poster. SDM bukan soal gelar atau jabatan, tapi soal hati yang lapang menerima kebenaran dan akal yang tajam menimbang sikap. Masyarakat berilmu bukan yang hanya tahu ayat, tapi yang menjaga lisan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ”
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mari kita berhenti menciptakan standar ganda. Hentikan budaya memuji dosa dan menghina takdir. Mari doakan perempuan yang khilaf agar bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Mari doakan pula perempuan yang diuji dengan kemandulan agar Allah lapangkan hatinya dan kabulkan harapannya.

Islam tidak datang untuk mempermalukan yang jatuh, tapi juga tidak datang untuk mengagungkan dosa. Islam datang untuk menyucikan hati dan menata masyarakat dengan akhlak. Akhlak dimulai dari cara kita memperlakukan orang yang tak seperti kita.

Jangan sampai generasi muda termotivasi melakukan zina hanya karena melihat bagaimana masyarakat memuliakan yang salah arah. Jangan sampai ada yang bangga “berbuat duluan” karena tahu akan dipuji, bukan disesali. Sebab, dari pujian yang keliru, lahir keberanian yang makin tak tahu malu.

Nabi ﷺ bersabda:

“إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ”
“Jika engkau tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari)

Bukan berarti dibenarkan, tapi peringatan bahwa hilangnya rasa malu akan membawa manusia pada tindakan tanpa rem. Maka, mari bangun kembali rasa malu dalam masyarakat. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menjaga nilai.

Jadilah umat yang adil. Yang bisa membedakan antara dosa dan ujian. Antara yang salah dan yang sedang diuji. Antara yang perlu dinasihati dan yang perlu dikuatkan. Jangan biarkan standar kita dikacaukan oleh empati yang tak pakai iman.

Semoga Allah menjaga lisan kita dari menyakiti, mata kita dari memelototi yang tak sepantasnya, dan hati kita dari memuliakan yang justru perlu diarahkan. Aamiin.

AMK WebDev

Bangun portal berita profesional & ringan.

💬 Konsultasi Globe News

Media Online Siap Pakai

Desain menarik, panel redaksi, dan dukungan SEO.

📞 Hubungi Kami News Globe